Mendikbud Curhat: Buka Sekolah Salah, Tutup Sekolah Salah
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim sedikit mencurahkan isi hatinya (curhat) mengenai posisi sulit dalam mengambil kebijakan pendidikan di tengah pandemi COVID-19. Dia merasa apapun kebijakan pendidikan di masa pandemi COVID-19 ini bakal disalahkan orang.
"Posisi saya luar biasa sulitnya, Pak. Buka sekolah salah, tutup sekolah salah," kata Nadiem dalam webinar 'Sistem Pendidikan di Tengah Pandemi COVID-19' yang diselenggarakan oleh DPD Taruna Merah Putih Jawa Tengah, Minggu (30/8/2020) malam.
Dalam diksusi ini, hadir Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi, serta Ketua Umum DPP Taruna Merah Putih Maruarar Sirait. Hadir pula para guru, orang tua murid, hingga siswa sekolah.
Nadiem sedang menjawab pertanyaan dari Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Muhdi mengenai risiko pembelajaran tatap muka di desa-desa yang kesulitan untuk belajar daring. Nadiem menjawab, keluhan soal membuka sekolah atau menutup sekolah selalu diterimanya. Kedua metode pembelajaran tersebut memiliki risiko masing-masing.
"Ini posisi saya luar biasa sulit. Dan (sebenarnya) ini kan empat kementerian, bukan cuma saya saja (yang terkait pembukaan atau penutupan sekolah tatap muka). Saya menjadi salah satu corongnya untuk menjelaskan ke masyarakat, karena posisi saya Kemendikbud," kata Nadiem dengan santai sembari tersenyum.Nadiem memprioritaskan agar semua bisa kembali melakukan pembelajaran tatap muka, tentu saja dengan standar keamanan yang bisa dipertanggungjawabkan. Maka khusus zona kuning, sekolah boleh menggelar pembelajaran tatap muka.
"Memang, semuanya ada risiko. Guru pengunjung-pun ada risiko. Maka kami prioritas nomor satu adalah bagaimana mengembalikan anak ke sekolah tatap muka dengan cara yang teraman," kata Nadiem.
Selama ini, sekolah yang menggelar pembelajaran jarak jauh (PJJ) mengeluhkan banyak kesulitan. Keluhan bukan hanya dari pihak sekolah saja namun juga dari orang tua murid.
"PJJ itu situasi yang tidak ideal, bukan hanya di Indonesia tapi bahkan juga di negara maju juga sama. Ini menimbulkan isu psikososial anak-anak, stres orang tua, adaptasi yang terlalu cepat bagi guru untuk format baru, tekanan biaya kuota, keterbatasan Teknolgi Informasi dan Komunikasi (TIK), dan berbagai macam isu lainnya," kata Nadiem.